"Bolehkah Menyadap SMS Anggota Halaqah Untuk Kepentingan Monitoring?"

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya sore tadi menjelang maghrib, saya menjumpai di beranda facebook saya suatu “perdebatan” terkait bagaimana hukum penyadapan, dalam kasus ini adalah menyadap SMS orang lain. Entah itu keluarga kita, anggota halaqoh kita, sahabat kita, istri kita (tapi ini belum berlaku bagi saya.. :D) dlsb.

Maka, saya tertarik untuk mencoba membawa secerca cahaya yang mudah-mudahan mampu menerangi hati  yang rindu akan hadirnya cahaya yang menentramkan. Ehmm… Mudah-mudahan hati kita bukanlah hati malin kundang yang sudah terlanjur keras karena sudah membatu sehingga mengedepankan ego (baqo’) daripada menundukkan hati serta menerima dengan lapang dada kebenaran yang datang dari Rab-Nya. 

Mubaasyarotan! Pada hakikatnya, kegiatan menyadap saluran telepon atau SMS adalah suatu kegiatan yang sama, tidak ada bedanya, karena pada intinya pelaku penyadapan tersebut tujuannya adalah ingin mengetahui isi pembicaraan ‘rahasia’ antara ke dua orang (target) tersebut. Bedanya adalah, kalau yang disadap itu saluran telepon maka yang disadap adalah suaranya, dalam bentuk audio, sedangkan kalau yang disadap SMS yang disadap adalah tulisannya, dalam bentuk visual, akan tetapi kedua aktifitas ini esensinya sama, yaitu ingin mengetahui isi pembicaraan ‘rahasia’ antara ke dua orang (target) tersebut. 

Ini senada dengan penjelasannya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 345, beliau menjelaskan bahwa penyadapan adalah  kegiatan menyelidiki atau mengusut terhadap suatu berita untuk menelitinya lebih lanjut.  Jadi antara hukum menyadap saluran telepon dengan SMS adalah sama. Sama-sama apanya? Halal atau Haram? Sabar dulu, tenang, sabar…. 

Sepakat sampai di sini? 

Guys… Tentu kita semua tahu, bahwa segala sesuatu perbuatan kita itu tidak pernah terlepas dari jerat hukum syara’. Ada kaidah syara’ yang saya yakin ini sangat populer di kalangan hamludda’wah dan pasti tahu apa dan bagaimana maksudnya, kaidah itu adalah,
“Asal dari perbuatan manusia (selalu) terikat dengan hukum syara.”
Jadi, tidak boleh melakukan sesuatu kecuali setelah mengetahui hukumnya. Seorang muslim secara syar’i diperintahkan umtuk menyesuaikan seluruh perbuatannya  dengan hukum syara’ berdasarkan firman-Nya: 

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. An-nisa’ [4]: 65).

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (TQS. Al-Hasyr [59]: 7).

Saya tidak tidak ingin menjelaskan apa sih hukum syara’ itu? Karena saya yakin temen-temen pasti sudah tahu. Oke, kita kembali lagi ke kasus Pe..nya..da..pan. Jangan kedip, tetap fokus pada meteri. :)

Kembali saya katakan, peyadapan adalah salah satu jenis aktivitas mata-mata atau spionase atau tajassus. Ketiganya ini sama, Cuma beda istilah saja. Clear! Kemudian bagaimana Islam memandang aktifitas spionase atau  tajassus tersebut? 

Dalam hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa, HUKUMNYA HARAM. Ketika berbicara kaum muslimin, ini mafhumnya umum lho ya, tidak peduli itu adik kandung kita, kakak kandung kita, istri kita (ini belum berlaku untuk saya, tahu lah… masih Jo..m..blo :D ) atau bahkan daris/darisah kita sekalipun, yang katanya untuk membantu proses monitoring. Kira-kira ada alasan yang lebih tidak masuk akal lagi nggak?  Hehe… 
Allah SWT berfirman: 

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)…” (TQS. Al Hujurat [49]: 12).

Menurut As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “Walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, Ibnu Mas’ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan : 

“Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)” (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).

Larangan penyadapan, memata-matai, atau tajassus terhadap kaum muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya belaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah. 

Lagi-lagi saya mencari aman, ini bukan pendapat saya sendiri, bukan hasil ijtihad saya sendiri, saya hanya meneruskan penjelasan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyah Islamiyah Islam jilid II halaman 346 dan 347. Silakan meluncur ke TKP kalau tidak percaya. Sudah pada punya kitabnya belum? Kalau belum, ya beli dong… hehe…

Lanjut… Jadi pembahasan ini sekali lagi saya katakan, sifatnya umum, mencakup semua yang termasuk tindakan spionase adalah HARAM. Ahmad Bin Daud telah meriwayatkan hadis dengan sanad dari Miqdad dan Abu Umamah, keduanya berkata: bahwa Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya seorang amir jika ia mencari keraguan (memata-matai) di tengah-tengah masyarakat, berarti ia telah merusak mereka.

Nah, ikhawani fillaah rahimakumullah…. 

Mudah-mudahan tulisan singkat ini bermanfaat secara umum bagi antum yang (kebetulan) membacanya, dan bagi diri saya pada khususnya. Mudah-mudahan Allah Swt berkenan menjadikan diri kita orang-orang yang faqih dalam agama, tafaqquh fiddiin… Aamiin… 

Mohon maaf jika ada kalimat-kalimat yang tidak berkenan di hati, kurang dan lebihnya saya minta maaf, dan monon koreksinya. Hakadza minni, syukron ‘ala ihtimamikum. Wallaahua'lam bishshowab...

Akhukum fillaah...
*Van Ar Rahman

24 November 2013, Asrama Darul Fikr, Surabaya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment