QADHA’ DAN QADAR (Memahami pembahasan qadha' dan qadar dalam kitab Nizhamul Islam)

Ada sebagian kalangan melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap Hizbut Tahrir dengan menyatakan bahwa Hizbut Tahrir mengingkari takdir atau tidak mempercayai takdir. Hizbut Tahrir juga dituduh Muktazilah (Qadariyah) karena menurut para penuduh itu pemahaman Hizbut Tahrir tentang qadha’ dan qadar sangat mirip denganMuktazilah. Tidak hanya itu, Hizbut Tahrir juga dituduh telah melakukan fitnah terhadap kalangan yang mengklaim Ahlussunnah wal Jamaah, bahwa Ahlussunah adalah sama seperti Jabariyah sebagaimana yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam.

Pihak yang menuduh Hizbut Tahrir itu adalah dari kalangan Salafi. Mereka menuduh Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah (Ibnu Taimiyah) dengan Jabbariyah. Padahal mereka keliru. Bahwa yang dimaksud Ahlussunah yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam itu adalah Ahlussunah versi Asy’ariyah, bukan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Justru Ahlussunah versi Asy’ariyah inilah yang sering ‘diserang’ pemahamannya oleh kalangan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Jadi, mereka telah keliru. Mereka menyangka Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah dengan Jabbariyah. Padahal yang dikritisi Hizbut Tahrir dalam kitab Nizhamul Islam adalah Ahlussunah yang versi Asy’ariyah. Dari sini kelihatan sekali bahwa kalangan Salafi terlalu terburu-buru dalam melakukan justifikasi. Bagaimana bisa membahas mutakallimin tetapi kok membahas Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah? Bagaimana bisa? Justru, orang yang memahami konteks permasalahannya, pasti akan berkesimpulan bahwa Ahlussunah yang dimaksud di sini adalah versi Asy’ariyah, bukan Ibnu Taimiyah.

Pembahasan qadha’ dan qadar, secara khusus telah dibahas oleh Hizbut Tahrir dalam satu bab tersendiri, yaitu qadha’ dan qadar dalam kitab Nizhamul Islam. Pembahasan yang sama juga bisa dijumpai dalam kitab Syakhshiyatul Islamiyah jilid I. Pembahasan ini sengaja diberikan ruang khusus, karena Hizbut Tahrir ingin menempatkan sesuai dengan proporsinya. Hizbut Tahrir tidak ingin terjebak dalam pembahasan yang melelahkan dan terjebak dalam diskusi yang tidak produktif sebagaimana yang dilakukan para mutakallimin (ahli kalam), termasuk Jabbariyah, Muktazilah, dan Ahlussunnah (Abu Hasan Al Asy’ari). Apa yang dimaksud dengan diskusi yang tidak produktif? Tentang hal ini bisa Anda baca dalam catatan saya yang berjudul Kesalahan-kesalahan Ilmu Kalam.

Secara fundamental, Hizbut Tahrir telah meletakkan suatu paradigma baru dalam pembahasan qadha’ dan qadar, yaitu membahas perbuatan manusia secara relevan (kaitannya) dengan pahala dan dosa. Atau dengan kata lain, pembahasan ini berkaitan dengan hukum perbuatan manusia. Hizbut Tahrir tidak meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar sebagaimana paradigma mutakallimin, dimana mereka meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar tetapi tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Para mutakallimin justru melakukan kesalahan dengan meletakkan pembahasan qadha’ dan qadar, tetapi dikaitkan dengan “penciptaan” perbuatan manusia (khalqul af’al) dan tertulisnya perbuatan manusia dalam Lauhul Mahfuzh.

Contoh:
Kalau seorang koruptor ditanya, “Mengapa kamu korupsi?” tentu si penanya akan pusing jika si pencuri menjawab, “Saya korupsi karena perbuatan saya ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh.” Atau koruptor itu akan mengatakan begini, “Saya korupsi, karena perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya.” Atau, “Saya korupsi, karena sudah ditakdirkan oleh Allah.”

Contoh lain:
Seorang anggota dewan telah menjual barang tambang minyak milik rakyat kepada pihak asing, sehingga rakyat banyak yang kesusahan dikarenakan mahalnya biaya untuk mendapatkan minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut, “Mengapa Anda menjual tambang minyak milik rakyat itu kepada pihak asing?” Lalu orang tersebut berkata, “Saya berbuat seperti ini karena sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini.”

Jika hal ini dibahas, yaitu tentang “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” tentu tidak akan terpecahkan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama persis dengan pembahasan qadha’ dan qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka berdebat habis-habisan tentang “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” dan “tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh”. Perdebatan panjang ini berlangsung hingga puluhan hingga ratusan tahun. Dan sesungguhnya, perdebatan ini sama sekali tidak produktif dan sangat melelahkan kaum muslim. Maka perdebatan dengan topik ini, harus ditinggalkan!

Karena itulah, Hizbut Tahrir mengajarkan kepada seluruh syababnya untuk tidak menjadikan masalah “tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh” atau “siapa yang menciptakan perbuatan manusia” sebagai asas (dasar) pembahasan qadha’ dan qadar. Alasannya, hal itu tidak berhubungan dengan “pahala dan dosa” atau “halal dan haram” bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma (asas) baru yang relevan (nyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Hukum perbuatan manusia itu sendiri!

Hizbut Tahrir kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang fakta perbuatan manusia dari segi: apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat (musayyar) atau diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar). Dan setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada dua jenis perbuatan manusia:

Pertama,
adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa), misalnya manusa tidak bisa terbang dengan tubuhnya sendiri, manusia mengalami suatu kecelakaan di luar kuasanya, dan sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh Hizbut Tahrir) disebut dengan qadha’. Yang menetapkan qadha’ adalah Allah, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal ini. Tidak ada hitungan pahala dan dosa, atau halal-haram dalam masalah ini.

Kedua,
adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar). Misalnya, makan nasi, minum khamr, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai kaki tangan penjajah, dan lain-lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah manusia memanfaatkan qadar, yaitu karakter khusus yang melekat pada segala sesuatu. Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mau menggunakannya untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain, manusia memiliki kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar ini, manusia akan dimintai pertanggung jawaban. Yang menetapkan qadar hanya Allah semata. Api memiliki karakter panas, itu hak Allah. Manusia memiliki kecerdasan, itu juga karena pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan dimintai pertanggungjawaban. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.

Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia berkeyakinan bahwa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa), bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa atau halal dan haram.

Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, “Silahkan saja kamu yakin bahwa perbuatan kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah berdosa disebabkan menyalahi larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu berbuat dosa. Ingat, korupsi itu haram hukumnya.”

Oleh karena itu, inilah yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merasa sedang dalam kondisi futur, tidak semangat, kemudian kita bermaksiyat, mungkin akan terlintas dalam benak kita, “saya melakukan ini atas perbuatan saya sendiri atau sudah menjadi takdir saya?” Jika kita masih berpikir seperti ini, maka itu artinya kita berpikir sebagaimana para mutakallimin. Selayaknya kita tidak berpikir seperti itu. Tetapi hendaknya kita memikirkan, “perbuatan saya ini, apa hukumnya?” Dengan demikian, kita akan terpuaskan dengan jawabannya, bahwa “perbuatan ini hukumnya haram!”. Tetapi jika kita masih mempertanyakan, siapa yang menciptakan perbuatan kita, maka jawabannya, dijamin tidak memuaskan dan akan berpotensi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih membingungkan. Jadi, mulailah berpikir yang mampu untuk dipikirkan, bukan memikirkan sesuatu yang tidak mampu kita pikirkan.

BERBAGI PENGALAMAN

Suatu ketika saya pernah berdialog dengan salah seorang kawan. Beliau aktif dalam pengajian di kalangan saudara-saudara Wahabi di salah satu pusat kajian di kota saya. Pada saat itu kami sedang membahas tentang kenaikan harga BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kemudian kawan saya tersebut menyatakan bahwa kenaikan harga BBM ini terjadi karena kehendak Allah, sambil mengutip sebuah hadis berikut.

Pada zaman Nabi saw. pernah terjadi bahwa harga-harga melambung tinggi. Kemudian para sahabat merasa resah dan mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)

Berdasarkan hal tersebut, kawan saya itu beranggapan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga. Saya tidak tahu apa maksudnya. Kemudian saya bertanya kepadanya, “Berarti kenaikan harga BBM ini adalah kehendak Allah?” Lalu dia menjawab, “Ya.” Lalu saya konfirmasi lagi, “Padahal yang berencana menaikkan harga BBM ini adalah Menteri ESDM, Jero Wacik. Lalu menurut Anda, yang menaikkan harga BBM itu Allah atau Jero Wacik? Allah atau manusia?” Teman saya lalu menjawab, “Itu sudah ketetapan Allah.” Lalu saya berkata kepadanya, “Jawaban Anda belum menjawab pertanyaan saya. Jadi, menurut Anda, siapa yang menaikkan harga BBM, Allah atau manusia?” Maka dia pun tidak bisa memberikan jawaban selain jawaban, “Itu sudah ketetapan Allah.”

Jawaban “itu sudah ketetapan Allah” menunjukkan bahwa sebenarnya pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring ke arah pembahasan akidah, yaitu tentang khalqul af’al (penciptaan perbuatan). Padahal, selayaknya pembahasan ini dijauhkan dari akidah. Sebab, jika dikaitkan dengan pembahasan akidah, maka yang akan terjadi adalah sebagaimana diskusi antara saya dengan teman saya di atas. Suatu diskusi yang membingungkan. Siapa yang menaikkan harga BBM? Allah atau manusia? Jika jawabannya Allah, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah kenaikan harga BBM ini akan membuat rakyat menjadi susah? Membuat rakyat susah itu perbuatan yang zalim atau tidak? Jika zalim, akankah Allah berbuat zalim kepada hamba-Nya? Jika memang ini menaikkan harga BBM ini adalah perbuatan Allah, lalu apakah kita harus pasrah dan berdiam diri ketika melihat minyak yang sudah menjadi hak kita justru diangkut ke luar negeri? Lalu, jika jawabannya adalah manusia, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah tadi di atas dikatakan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga? Ini suatu pembahasan yang membingungkan.

Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring kepada persoalan akidah. Sebab, jika digiring kepada persoalan akidah, jelas sekali bahwa orang tersebut tidak mengetahui fakta persoalan yang sesungguhnya. Faktanya, Indonesia adalah negeri yang memiliki harta kekayaan yang melimpah, termasuk cadangan minyak bumi. Persoalannya, pemerintah Indonesia justru telah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Akibatnya, justru rakyat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa selain kekecewaan dan kekecewaan. Inilah fakta sesungguhnya. Maka sangat tidak tepat jika persoalan kenaikan harga BBM ini diarahkan pada persoalan akidah. Jika tidak tepat, lalu yang tepat seperti apa?

Pembahasan yang tepat adalah mengarahkan persoalan kenaikan harga BBM ini kepada persoalan hukum, bukan persoalan akidah. Apa maksudnya? Maksudnya adalah menghukumi perbuatan ‘menaikan harga BBM’, bukan membahas ‘siapa yang menaikkan harga BBM’. Jika ditanyakan tentang hukum ‘menaikkan harga BBM’ tentu jawabannya adalah haram. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api (sumber energi).” (HR. Abu Dawud)

Jika kaum muslim berserikat atas tiga hal tersebut, itu artinya ketiga hal tersebut adalah milik kaum muslim (rakyat). Maka haram hukumnya menyerahkan barang milik kaum muslim kepada pihak asing. Inilah pemahaman yang tepat tentang persoalan ‘menaikkan harga BBM’. Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya. Yaitu tidak membahas ‘siapa yang menciptakan perbuatan: Allah atau manusia?’ tetapi membahas ‘apa hukum perbuatan manusia?’.

Terlepas dari pembahasan tersebut, sebenarnya hadis di atas adalah hadis yang berkaitan dengan kasus tas’ir (pembatasan/pematokan harga), bukan menaikkan harga. Rasulullah (selaku kepala negara) tidak mau menetapkan pembatasan harga/pematokan harga, karena Rasulullah tidak ingin ketika pada hari kiamat beliau tertahan masuk surga oleh hak orang lain hanya karena beliau telah melakukan pembatasan harga. Jadi, hadis di atas adalah dalil tentang haramnya melakukan pembatasan harga oleh kepala negara (khilafah).

Contoh:
Misalnya kepala negara khilafah menetapkan bahwa harga gandum dalam negeri, satu kuintal seharga 200 dinar. Maka siapa pun yang menjual gandum 1 kuintal, harganya tidak boleh melebihi 200 dinar. Hal seperti inilah yang disebut tas’ir (pembatasan harga). Ini tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Sebab, pada hakikatnya seorang penjual bebas menjual barang dagangannya sesuai harga yang dia inginkan. Dia bisa menjual 1 kuintal gandum itu dengan harga 178 dinar, 200 dinar, atau lebih dari itu, namun masih dalam konteks kewajaran, misalnya 205 dinar atau 210 dinar. Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah dengan kalimat “aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta”. Sebab, jika (misalnya) Rasulullah menetapkan pembatasan harga 200 dinar, padahal ketika seorang penjual bisa menjual 1 kuintal gandum seharga 210 dinar, itu artinya ada rezeki dari si penjual gandum yang ditahan oleh Rasulullah, yaitu 10 dinar. Tetapi karena ada pembatasan harga, maka 10 dinar yang sebenarnya bisa didapatkan di penjual gandum, akan hilang sia-sia. Hal seperti inilah yang ditakutkan Rasulullah dan disebut oleh beliau sebagai bentuk kezaliman.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemahaman di atas, paradigma (asas) baru dalam pembahasan qadha’ dan qadar yang digagas Hizbut Tahrir (sebagaimana yang diajarkan kepada saya) sangatlah fundamental, karena dapat menghilangkan kesamaran seputar masalah qadha’ dan qadar. Justru menurut saya, inilah pemahaman yang sangat tepat, jauh dari sesuatu yang membingungkan, memuaskan akal, menentramkan hati, dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, serta menjauhi sesuatu yang tidak bermanfaat (menghilangkan kesia-siaan).

Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya, yaitu mengaitkan pembahasan qadha’ dan qadar dengan pahala dan siksa (halal dan haram), bukan dengan khalqul af’al (penciptaan perbuatan).

Wallahu a’lam.
Previous
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
26 September 2021 pukul 06.04 ×

MaasyaaAllah...ternyata hizbut tahrir itu mencerdaskan aqal sesuai islam...tidak memandang suatu fakta dengan dalil dari 1 sisi saja.tertarik dengan hizbut tahrir

Reply
avatar
18 Juni 2022 pukul 20.51 ×

Betting Site Reviews | SmFS.info
Betting site reviews, bet predictions and sports tips. 더킹카지노 Find out if you can trust the experts on Betway right now, after λ°”μΉ΄λΌμ‚¬μ΄νŠΈ you have completed the

Reply
avatar
Thanks for your comment